Rabu, 17 November 2010

Ngatini

“Aku mampu melihat sebuah tatanan kehidupan yang berbeda, ada yang patut dicontoh dan ada pula yang patut dijadikan bahan pembelajaran. Tapi aku yakin kisah ini tidak akan membuat orang-orang di sini percaya kepadaku mereka hanya akan berkata bahwa ini adalah imajinasiku belaka.” Pikiran itu selalu membuatnya tak nyaman dan menjadi dilemma, Fitri sangat ingin sekali membagikan kisah ini tapi ia ragu apakah orang lain mau memahaminya.
Sejak TK hingga SD kelas 6 ia selalu mendengarkan kakeknya bercerita tentang filosofi hidup yang sebenarnya tidak ia pahami, fitri hanya mengambil kisah-kisah yang seru dan mampu membuatnya berimajinasi hingga tertidur. Kali ini, akhirnya ia mulai memahami sedikit demi sedikit kata-kata yang sering diucapkan oleh kakeknya bahwa ada hal lain yang belum kamu ketahui dan itu akan sulit kamu mengerti. Arti dari kata-kata kakeknya memang sangat membekas dan membuat Fitri menjadi seseorang yang selalu mencoba hal-hal baru. Jalan-jalan ke tempat-tempat wisata yang menarik, menelusuri sejarah, wisata kuliner, dan kegiatan-kegiatan yang menantang sering dilakukan. Semua yang telah Fitri lakuakan sesuai dengan karakter serta hobynya, namun ia selalu merasa bahwa apa yang ia lakukan tidak member arti yang berkesan dalam hidup.
Sampai akhirnya ia mulai tertarik untuk membaca buku-buku seperti kakeknya. Ia mulai sadar bahwa kakeknya mampu memberikan kata-kata yang sampai sekarang sangat membekas dalam hati, karena membaca. Buku-buku kuno di perpuatakaan kota menjadi awal mula hoby barunya.
Buku yang sangat tua, bahkan kertasnya hingga berubah warna menjadi coklat, mampu menarik perhatian. Buku itu adalah catatan tangan dari Rara Ayu Ngatini. “Ehmmm, jaman dulu, orang Jawa sudah menulis catatan harian….. tidak mungkin immposible…… ngarang tok ini….. mesti fiktif…” tapi mindset itu ternyata tak menyurutkan niat penasaran Fitri untuk membaca buku tua Ngatini. Halam pertama ia buka, berisi tentang asal –usul Ngatini.
Ngatini adalah seorang gadis keturunan Belanda yang tinggal di Jawa ketika jaman penjajahan. Ayahnya adalah salah satu anggatan perang Belanda dan ibunya seorang abdi dalem kraton. Sejak lahir Ngatini tidak pernah melihat ayah dan ibunya karena mereka diusir dari rumah kakek Ngatini yang tidak menyetujui perkawinan ibunya dengan laki-laki Belanda. Memang ibu Ngatini menyembunyikan kehamilannya pada kakek Ngatini hingga melahirkan. Hal itulah yang menyebabkan kakek Ngatini marah besar pada ibunya dan mengusir kedua orang tua Ngatini.
Dari halaman pertama hingga ke tiga membuat Fitri makin tertarik dengan buku Ngatini. “Buku ini asik juga kalo dibaca, walaupun aku masih belum percaya apa benar ini tulisan asli Ngatini atau Cuma rekaan belaka. Semoga isinya bermanfaat” gumam Fitri. Fitri tertarik karena ia berharap akan ada penyelesaian yang apik di cerita Ngatini selanjutnya. Fitri merasa antara Ngatini dan dirinya ada persamaan walaupun Fitri tidak ditinggal orang tuanya seperti Ngatini tapi setidaknya mereka sama-sama sudah tidak dapat bertemu orang tua mereka. Orang tua Fitri bercerai dan masing-masing sudah menikah lagi, maka Fitri tinggal dengan kakeknya, dan kini sang kakek pun telah tiada 3 tahun yang lalu. Hidup Fitri serasa hampa, tak ada kasih saying, hidup hanya monoton, setiap hari ia hanya bekerja sesuai rutinitas, mengerjakan tugas rumah, pergi jalan-jalan sesuai hobynya, yah….. seperti itulah gaya hidup orang kota jaman sekarang. Kadang-kadang membosankan.
Hari ini Fitri sungguh muak dengan semua pekerjaan di kantor yang terlalu banyak, sebenarnya ia bisa mengerjakan tetapi karena banyak sekali membuat menjadi malas mengerjakan. Kembali ia mengambil catatan Ngatini. Hari ini juga buku itu harus dikembalikan ke perpustakaan kota, padahal baru 3 lembar pertama yang dibaca. Tak kehabisan akal demi memuaskan rasa penasaran, buku itu di copy dan yang asli dikembalikan.
Lembar selanjutnya menceritakan latar belakang Ngatini yang hidup di lingkungan abdi dalem kraton. Semua serba magis dan di luar nalar. Memang tatanan di sana sangatlah teratur namun sebagai keturunan Belanda, Ngatini juga mewarisi sifat ayahnya yang liberal dan tidak mudah percaya hal-hal magis. Hal ini yang sering membuat Ngatini dan kakeknya bertengkar, setiap pertengkaran kakek Ngatini selalu menjuluki Ngatini “Turunan wong ra duwe tata krama” artinya keturunan orang yang tidak punya tata krama (kesopanan). Ya, kadang Ngatini mampu memahami mengapa sang kakek yang dicintainya berkata demikian. Orang Jawa selalu mengikuti adat leluhur dan tidak mau sedikitpun bepaling atau sekedar memahami mengapa leluhurnya melakukan itu.
Kehidupan Ngatini berjalan terus dengan berbagai tanda tanya. Ngatini memutuskan untuk pergi mendekat ke lingkungan kraton, walaupun sebenarnya belum diijinkan oleh sang kakek. Wajah Ngatini yang keturunan Belanda membuat putri-putri kraton merasa aneh dengan kehadirannya. Nyai Sedayu mengajak Ngatini mulai belajar menari bersama putri-putri kraton yang lain. Nyai Sedayu adalah mbok emban kraton yang mengajarkan menari kepada setiap wanita penghuni kraton. Badan Ngatini yang jangkung dan berbeda dengan putri Jawa pada umumnya, membuat dirinya sulit menyesuaikan gerakan saat menari. Di sini Ngatini sering disebut “Landa wedok” artinya wanita keturunan Belanda yang sebenarnya sangat kasar jika diungkapkan oleh kalangan putri-putri kraton.
Lambat laun kakeknya pun tau kalau Ngatini berlatih tari di “Sasana Wilujeng” bersama putri-putri adipati. Sempat kakek Ngatini justru memarahi Ngatini. Ia mempertanyakan mengapa harus ikut menari bersama putri-putri adipati? Sifat keras kepala Ngatini lah yang akhirnya membuat kakek pasrah pada pilihan Ngatini. Sebenarnya kakek Ngatini sudah tahu, jika Ngatini ikut menari di “Sasana Wilujeng” maka akan mendapat celaan, karena memang postur dan wajah Ngatini yang tidak lazim di kalangan putri Jawa. Kakek tidak menginginkan hal itu. “Yo wes nduk…… yen pancen koyo ngono karepmu, sing genah ojo ketaton atimu marang kabeh pangucap lan solah bawane para putri adipati kae…..” begitulah pesan kakek yang pasrah pada pilihan Ngatini ikut menari di “Sasana Wilujeng”.
Semua putri di “Sasana Wilujeng” mulai menerima keberadaan Ngatini yang sebenarnya juga bukan anak adipati, namun tetap saja mereka bersikap dingin padanya. Hingga salah satu dari mereka bernama Rara Ayu Sri Mulatmi mendekati dan mulai berbincang-bincang dengannya. Ngatini mengenal Rara Ayu Sri Mulatmi yang sering ia panggil Rara Sri sebagai teman yang baik dan berbeda dengan yang lain. Mereka berdua cukup akrab dan Ngatini pun merasa cocok padanya. Pada suatu ketika ayah dari Rara Ayu Sri Mulatmi, adipati Serenan, mengadakan pepunjen seperti perayaan ucapan syukur kepada Yang Maha Esa. Ia meminta anak-anak yang telah berlatih di “Sasana Wilujeng” menampilkan tarian yang telah mereka pelajari selama ini. Maka Rara Ayu Sri Mulatmi segera memberitahu teman-temannya dan Nyai Sedayu. Segala macam persiapan segera dilakukan agar mampu menampilkan tarian yang terbaik pada perayaan sang Adipati Serenan. Mereka mempersiapkan dengan sungguh-sungguh karena pada acara tersebut Gusti Ageng dan Gusti Ayu akan datang menghadiri perayaan pepunjen Adipati Serenan.

2 komentar:

Ari Tyas S. mengatakan...

kok gitu tok??kayak blom rampung...

GamZ mengatakan...

heeem tunggu episode berikutnya
buatnya lg butuh mood

Posting Komentar